Senin, 06 Februari 2017

SISTEM DAN PERPOLITIKAN DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.
Orde baru merupakan masa pemerintahan Soeharto yaitu berlangsung dari tahun 1966 sampai tahun 1998. Pada masa orde baru ini presiden Soeharto mengalami keruntuhan yaitu seiring jatuhnya Soeharto sebagai presiden yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun, setelah sebelumnya krisis ekonomi menghancurkan legitimasi pemerintahan Orde Baru.
Permasalahan-permasalahan banyak terjadi pada masa orde baru ini seperti kolusi,korupsi,nepotisme, krisis ekonomi. Itu semua tidak lepas dari kebijakan-kebijakan yang ditetapkan presiden Soeharto. Maka pemerintahan selama 32 tahun yang dijalankan oleh Soeharto memberikan dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dampak positifnya.
Masa pemerintahan yang begitu panjang menjadi arena membungkam demokrasi dan menenggelamkan partisipasi masyarakat luas dalam hampir semua sektor kehidupan, sampai untuk membangun gedung-gedung SD di seluruh Indonesia harus lewat Inpres (instruksi presiden). Maka dapat disaksikan menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, ketika terjadi krisis moneter; ekonomi yang dibangun dengan stabilitas politik dan keamanan itu rontok seperti bangunan tanpa pondasi yang dilanda gempa bumi, rata dengan tanah!
Orde baru yang dijalankan oleh Presiden Soeharto yang berakhir dengan krisis moneter memberikan perubahan dalam pembangunan politik dan perekonomian.

1.2  Peralihan Kekuasaan: Orde Lama menjadi Orde Baru
Pada 11 Maret 1966, penduduk Indonesia masih dalam keadaan terguncang dan terjebak dalam kekacauan. Tepat pada hari itu, Presiden Soekarno dipaksa menandatangani sebuah dekrit yang memberikan kekuasaan kepada Jenderal Suharto untuk melakukan tindakan-tindakan demi menjaga keamanan, kedamaian dan stabilitas negara. Dekrit ini dikenal sebagai dokumen Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dan menjadi alat pemindahan kekuasaan eksekutif dari Soekarno ke Suharto. Suharto dengan cepat melarang segala aktivitas PKI, mulai membersihkan militer dari elemen-elemen aliran kiri, dan mulai memperkuat peran politik militer di masyarakat Indonesia. Meski masih tetap presiden, kekuatan Soekarno semakin lama semakin berkurang sehingga Suharto secara formal dinyatakan sebagai pejabat sementara presiden pada tahun 1967 dan dilantik menjadi Presiden Indonesia kedua pada tahun 1968. Ini menandai munculnya era baru yang disebut 'Orde Baru' dan berarti bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah diubah dengan drastis. Pemerintah baru berfokus pada pembangunan ekonomi. Hubungan dengan dunia Barat, yang telah dihancurkan Soekarno, dipulihkan sehingga memungkinkan mengalirnya dana bantuan asing yang sangat dibutuhkan ke Indonesia. Manajemen fiskal yang penuh kehati-hatian mulai dilaksanakan oleh para teknokrat ekonomi dan konfrontasi yang berbahaya dan mahal melawan Malaysia dihentikan.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Suharto adalah depolitisasi Indonesia. Menteri-menteri tidak diizinkan membuat kebijakan-kebijakan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang diformulasikan oleh atasannya (Presiden). Golkar (akronim dari Golongan Karya, atau kelompok-kelompok fungsional) digunakan sebagai kendaraan parlementer yang kuat milik Suharto. Golkar mencakup beberapa ratus kelompok fungsional yang lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan pengusaha) yang memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dimobilisasi oleh partai-partai politik. Golkar dikembangkan menjadi sebuah alat untuk memastikan bahwa mayoritas suara dalam pemilihan umum akan mendukung pemerintah. Golkar memiliki jaringan sampai ke desa-desa dan didanai untuk mempromosikan Pemerintah Pusat. Para pegawai negeri sipil diwajibkan mendukung Golkar sementara kepala-kepala desa menerima kuota suara untuk Golkar yang harus dipenuhi. Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan kemenangan besar untuk Golkar pada pemilihan umum 1971. Untuk semakin memperkuat kekuasaan politiknya, Suharto 'mendorong' sembilan partai politik yang ada untuk bergabung sehingga tinggal dua partai. Partai pertama adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari partai-partai Islam dan partai kedua adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen. Kendati begitu, aktivitas-aktivitas politik kedua partai ini sangat dibatasi sehingga hanya menjadi masa-masa kampanye singkat sebelum pemilihan umum.

1.3   Munculnya Supersemar
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang berlangsung.Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal.Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam II Chaerul Saleh.Leimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir.
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.Segera setelah mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa. Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia.Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966. Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.Keanggotaan Partai Komunis Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya.Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan. Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil sebagai berikut:
·         Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
·         Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.
·         Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.
·         Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
·         Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.
·         Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
·         Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.
Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai Komunis Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa. Pembantaian ini tidak hanya dilakukan oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.Selain kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia.Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku. Pada tanggal 30 September setiap tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.




BAB 2
PEMBAHASAN

1.      Sistem Otoritarianisme Orde Baru
Di dalam system orde baru model negara Indonesia merupakan model negara kapitalis,model ini mensyaratkan adanya negara yang kuat yang mampu menjamin stabilitas politik dan keamanan yang berkelanjutan. Stabilitas politik yang kuat ini diorientasikan untuk memberi rasa aman bagi investasi dan implementasi kebijakan pembangunan yang diprakarsai oleh negara.Oleh karena itu,negara Orde baru secara intensif memelihara stabilitas politik melalui dua srategi yaitu strategi diskursif pembangunan institusional.Strategi diskursif yang telah dilaksanalkan meiputi pemikiran mengenai diskontiniutas historis dan konstituisionalisme yang berfungsi tidak hanya sebagai landasan ideologis dimana pengembangan hagemoni kekuasaan dibangun,melainkan sebagai justifikasi untuk menghalalkan “penindasan fisik,pelarangan,dan penggusuran orang-orangyang tidak sepaham”.Pada level institusioal pemikiran mengenai negara yang kuat diimplementasikan melalui rancangan koporatis terhadap organisasi-organisasi sosial-politik dan kelompok-kelompok di masyrakat yang memiliki pengaruh besar dalam penggalangan politik seperti organisasi buruh,kelompok industri,kelompok keagamaan,serta organisasi kepemudaan.
Dalam masyarakat politik Orde Baru seperti ini, mobilisasi massa yang melibatkan sebagian besar rakyat hanya diijinkan oleh pemerintah dalam proses implementasi kebjakan dibandingkan dengan pengambilan keputusan di tingkat nasional.Selama Orde Baru,berbagai actor yang menjadi penyeimbang dan pengawas lembaga-lembaga publik seperti kelompok-kelompok kepentingan,LSM,dan organisasi-organisasi profesi yang tumbuh dalam masyarakat telah dikooptasi oleh rezim.Partai politik telah ”dimandulkan” melalui kebijakan massa mengembang dan disederhanakan menjadi tiga partai saja,kondisi ini diperparah dengan kebijakan asas tunggal Pancasila sehingga partai-partai politik tidak dapat menggunakan ikatan ideoogisnya untuk mengikat konstituennya.Akibatnya,birokrasi benar-benar menjadi institusi yang dominan dalam system politik Indonesia.Hal ini mendorong individu-individu di dalamnya berprilaku korup,nepotism,dan kolusif.Kuatnya dominasi Negara dan birokrasi dalam mengontrol kehidupan masyarakat membuat pembangunan politik pada Orde Baru tidak berjalan dengan baik.Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tehadap masa depan Indonesia pasca-Soeharto.Begitu kuatnya kekuasaan politik Soeharto yang di topang oleh birokrasi dan militer membuat struktur politik tidak berfungsi sebagaimana seharusnya,ini telah memandulkan fungsi-fungsi sruktur politik ”demokrasi “ hingga menjadi hanya sebagai pelayan atas keinginan-keinginan Soeharto.
Kemandulan struktur politik dalam melaksanakan fuyngsi-fungsi yang di embannya juga dapat dilihat dari ketidakmampuan lembaga legislatif dalam melakukan checks and balance terhadap lembaga eksekutif.Proses screening yang dilakukan pada masa pemilihan umum guna memilih lembaga ini mandul secara politik.Pada tataran tertentu mereka hanya menjadi “tukang stempel” atas kebijakan dan produk yang diajukan oleh kalangan eksekutif.Ini juga yang terjadi pada lembaga tertiggi Negara yaitu MPR.Selama enam kali pemilihan umum sejak tahun 1971 hingga tahun 1997 lembaga ini hanya mampu bertindak sebagai pengabsah Soeharto sebagai presiden.Kegagalan partai-partai politik dalam melakukan pendidikan dan recruitment politik sebagai akibat pemandulan yang sistematis telah membuat Soeharto menjadi tokoh sentral yang tidak mempunyai pesaing dalam arena perebuta kursi presiden.Tokoh-tokoh alternatif dihancurkan dalam arena persaingan kekuasaan,bahkan ketika di kalangan masyarakat mulai muncul desakan yang kuat untuk menolak Soeharto sebagai presiden untuk keenam kalinya,lembaga tertinggi Negara masih tetap memilihnya sebagai presiden.
Sementara itu pemberlakuan SIUPP yang dapat mengancam keberadaan pers sewaktu-waktu telah membuat pilar demokrasi yang penting ini tidak mampu berbuat banyak selain sebagai ‘pendukung’ kebijakan rezim yang setia.Akibatnya mereka lebih  banyak meliput hal-hal yang berbau human interest,kriminalitas,dan pornografi dibanding dengan bertindak sebagai pengawas dalam sistem politik Indonesia.Dalam situasi ini nyaris komunikasi politik yang seharusnya mengalir secara timbale balik antara masyarakat dengan Negara tidak berjalan dengan baik.

2.      STRUKTUR POLITIK
Presiden Soeharto memulai orde baru dalam dunia politik indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh soekarno sampai akhir jabatannya. Orde baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijaksanaannya melalui struktur administratifnya yang didominasi militer, DPR, dan MPR tidak berfungsi efektif. Anggotanya juga seringkali dipilih dari kalangan militer khususnya mereka yang dekat dengan cendana.dan hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat kurang di dengar pusat.
Jenderal Soeharto sebagai pemimpin utama orde baru yang menjabat ketua presidium kabinet ampera, pada tanggal 19 April 1969 telah memberikan uraian mengenai hakekat orde baru yaitu sebagai berikut “Orde baru adalah tatanan seluruh perkehidupan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia yang diletakkan kepada kemurnian pelaksanan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dilihat dari proses lahirnya cita-cita mewujudkan orde baru itu merupakan suatu reaksi dan koreksi prinsipil terhadap praktek-praktek penyelewengan yang telah terjadi pada pada waktu-waktu yang lampau yang disebut dengan orde lama. Orde baru  hadir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa orde lama. Jadi oleh karena itu pengertian orde baru yang terpenting ialah suatu orde yang mempunyai sikap dan tekat mental dan iktikhad baik yang mendalam untuk mengabdi kepada rakyat, mengabdi kepada kepentingan nasional yang dilandasi oleh falsafah Pancasila dan yang menjunjung tinggi azas dan sendi undang-undang dasar 1945.
Landasan-landasan orde baru antara lain :
a)      Landasan idiil Falsafah dan ideologi negara pancasila
b)      Landasan konstitusional Undang-undang dasar 1945 dan adapun landasan situasional adalah landasan-landasan yang dipakai sampai terbentuknya pemerintahan baru sesudah pemilihan umum.

1)      Pembubaran PKI dan Organisasi masanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:
·         Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
·         Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
·         Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.

2)      Penyederhanaan Partai Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial politik itu adalah:
·         Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI
·         Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
·         Golongan Karya

3)      Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR dan PPP memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi. Sedangkan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.
4)      Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Di masa Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di Indonesia. Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu. Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator. Peran dinamisator sebenarnya telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah G 30 S/PKI, yang melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri. Banyak perwira, khususnya mereka yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI. Masuknya pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi militer berkurang.
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Saat itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari ABRI. Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%).[16] Pendanaan yang didapatkan ABRI pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.


5)      Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Sehingga sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.

6)      Hubungan antarLembaga Negara
Hubungan antar lembaga politik merupakan hubungan yang akan menciptakan suatu proses pemerintahan yang baik. Hubungan akan baik jika antar lembaga Negara mengerti tugas dan peran masing-masing dalam pemerintahan.hubungan antar lembaga Negara Indonesia adalah keseimbangan dalam lembaga eksekutif , legeslatif, yudikatif. Masa orde baru hubungan dan kedudukan antara eksekutif dan legeslatif dalam sistem UUD 1945, sebetulnya telah diatur, kedua lembaga tersebut sama akan kedudukannya. Pemerintahan pada masa orde baru, kekuasaan eksekutif lebih dominan terhadap semua aspek kehidupan pemerintahan dalam negara kita. Dominasi kekuasaan eksekutif mendapat legimilitasi konstitusional, karena dalam penjelasan umum UUD 1945 bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah majelis. Presiden juga memiliki kekuasaan diplomatik. Kekuasaan pada masa orde baru pada presiden begitu besar sehingga presiden Soeharto bisa menjabat presiden seumur hidup. DPR sebagai lembaga pengawasan tidak berjalan secara efektif.

7)      Pembentukan kabinet pembangunan
Kabinet ini awal l pada peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah kabinet ampera dengan tugas yang terkenal dengan nama dwi darma kabinet ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksenakan pembangunan nasional. Kabinet pembangunan pada tahun 1968 dalam sidang MPRS ada tugas lain pula yang disebut pancakrida.

8)      Kelebihan dan Kekurangan Orde Baru
a)      Kelebihan
Ada beberapa hal yang menjadi keuntungan dari masa orde baru sebagai berikut:
-        Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
-        Sukses transmigrasi
-        Sukses KB
-        Sukses memerangi buta huruf
-        Stabilitas politik dan ekonomi
-        Pertumbuhan ekonomi
-        Pemerataan pembangunan lebih terjaga
-        Ternyata sistem represif tanpa demokrasi yang paling cocok sampai saat ini di Indonesia. Buktinya setelah ada demokrasi sekarang malah kebablasan, anarki di mana-mana.

b)      Kekurangan
Adapun hal-hal yang menjadi kerugian dari masa orde baru adalah sebagai berikut :
-          Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
-          Pembangunan Indonesia yang tidak merata
-          Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si (miskin)
-          Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
-          Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang diberedel (dihentikan dari edaran dan penerbitan)
-          Ekonomi makro rapuh karena banyak subsidi dari hutang luar negeri, untuk membuat stabilitas politik
-          Tidak ada demokrasi

9)      Repelita
Awal masa orde baru menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai yang berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
a)      REPELITA I (1969-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
b)     REPELITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sector pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
c)      REPELITA III (1979-1984)
Prioritas tetap pada pembangunan ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan, serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
d)     REPELITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja. Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.
e)      REPELITA V (1989-1994)
Menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sector pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, Inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa Bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia. Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".


BAB 3
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Orde baru merupakan masa pemerintahan Seoharto mulai tahun 1966 sampai dengan 1998. Banyak kelebihan dari masa pemerintahan Soeharto tetapi banyak juga kelemahanan atau keburukannya. Bidang ekonomi juga memiliki perkembangan pada saat itu. Sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA yaitu mulai dari Repelita I sampai dengan repelita V. Kesejahteraan pada Orde Baru boleh dikatakan memang terwujud, namun secara tidak kita sadari bahwa kesejahteraan tersebut bersifat semu. Lebih lanjut Pratikno (1998) mengatakan sumber utama kedua yang dipergunakan untuk membangun otoritarianisme, klientelisme ekonomi yang berhasil dilakukan berkat melimpahnya sumber daya ekonomi dan hasil alam. Dengan sumber daya inilah Suharto secara efektif mampu membeli dukungan dari elit politik dan masyarakat luas. Faktanya ketika Orde Baru runtuh maka indikator kesejahteraan juga turut menghilang perlahan dengan sendirinya, hanya untuk pencitraan saja. Memang sifat manusia jika sudah memperoleh kesempatan yang menggiurkan di depan mata, akan mengambil dengan suka cita. Apalagi pada saat Orde Baru mereka bisa leluasa bergerak tanpa pertimbangan matang, utung ruginya menarik modal asing tidak dipikirkan sebelumnya. Mereka hanya berorientasi pada keuntungan semata, tanpa memperdulikan peningkatan produktifitas ekonomi Indonesia untuk keberlangsungan hidup penerus bangsa selanjutnya. Mereka belum bisa berfikir untuk peduli pada generasi mendatang, boro-boro masalah generasi, rakyatnya yang pada saat itu menjerit hanya karena tidak bisa membeli kebutuhan pokok saja tidak diindahkan. Inilah asal mula mengapa hutang Indonesia saat itu menggelembung menjadi besar karena ulah konyol orang-orang tua Orde Baru yang pikirannya kotor. Sebagian besar utang tersebut adalah sektor swasta kepada pemodal asing. Imbas dari hutang yang sangat tinggi waktu itu Orde Baru kekosongan kas negara, tidak mapu membayar hutang-hutang tersebut padahal jatuh temponya dekat dengan bunga yang luar biasa tinggi. Pertengahan tahun 1998 sudah lebih dari 50 miliar dolar jatuh tempo, sedangkan uang memang kosong untuk melunasinya. Akhirnya menumpuk lagi hutang negara kita, semakin banyak dan semakin banyak. Bahkan uang yang digunakan pengusaha kurang lebih 74 miliar hampir seluruhnya tidak ada manfaatnya bagi masyarakat Indonesia. Inilah awal timbulnya krisis moneter yang dialami Indonesia.
3.2  Saran
Orde Baru boleh kita kenang namun pola kepemimpinannya tidak perlu kita contoh, karena sangat sentralistik bahkan sentral ditangan satu orang saja yaitu Soeharto. Sampai-sampai kesejahteraan hanya bersifat semu tidak ikhlas diberikan pada rakyat. Kita memasuki globalisasi, masalah kesejahteraan tidak hanya terkait dengan hal-hal seperti mampu makan namun juga mampu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Memang banyak keuntungan atau sisi baik dari masa pemerintahan soeharto, tetapi sisi buruk juga tidak boleh kita lupakan. Dengan penjelasan yang saya tulis dalam makalah ini tentang system politik pada era orde baru, hendaklah kita lebih jeli lagi melihat system pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah kita terhadap rakyat, bukan hanya melihat keuntungannya saja tetapi juga melihat dampak buruknya dan secepatnya mengantisipasi keburukan tersebut. Hendaklah kita meneruskan sisi baik dari masa pemerintahan Soeharto dan memperbaiki sisi buruknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar