BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan
bagi masa pemerintahan Presiden
Soeharto
di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama
yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.
Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966
hingga 1998.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi
yang merajalela.
Orde baru merupakan masa pemerintahan Soeharto yaitu
berlangsung dari tahun 1966 sampai tahun 1998. Pada masa orde baru ini presiden
Soeharto mengalami keruntuhan yaitu seiring jatuhnya Soeharto sebagai presiden
yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun, setelah sebelumnya krisis
ekonomi menghancurkan legitimasi pemerintahan Orde Baru.
Permasalahan-permasalahan banyak terjadi pada masa
orde baru ini seperti kolusi,korupsi,nepotisme, krisis ekonomi. Itu semua tidak
lepas dari kebijakan-kebijakan yang ditetapkan presiden Soeharto. Maka
pemerintahan selama 32 tahun yang dijalankan oleh Soeharto memberikan dampak
negatif yang lebih besar dibandingkan dampak positifnya.
Masa pemerintahan yang begitu panjang menjadi arena
membungkam demokrasi dan menenggelamkan partisipasi masyarakat luas dalam
hampir semua sektor kehidupan, sampai untuk membangun gedung-gedung SD di
seluruh Indonesia harus lewat Inpres (instruksi presiden). Maka dapat
disaksikan menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, ketika terjadi krisis moneter;
ekonomi yang dibangun dengan stabilitas politik dan keamanan itu rontok seperti
bangunan tanpa pondasi yang dilanda gempa bumi, rata dengan tanah!
Orde baru yang dijalankan oleh Presiden Soeharto yang
berakhir dengan krisis moneter memberikan perubahan dalam pembangunan politik
dan perekonomian.
1.2 Peralihan
Kekuasaan: Orde Lama menjadi Orde Baru
Pada 11 Maret 1966, penduduk Indonesia masih dalam keadaan terguncang
dan terjebak dalam kekacauan. Tepat pada hari itu, Presiden Soekarno dipaksa
menandatangani sebuah dekrit yang memberikan kekuasaan kepada Jenderal Suharto
untuk melakukan tindakan-tindakan demi menjaga keamanan, kedamaian dan
stabilitas negara. Dekrit ini dikenal sebagai dokumen Supersemar (Surat Perintah
Sebelas Maret) dan menjadi alat pemindahan kekuasaan eksekutif dari Soekarno ke
Suharto. Suharto dengan cepat melarang segala aktivitas PKI, mulai membersihkan
militer dari elemen-elemen aliran kiri, dan mulai memperkuat peran politik
militer di masyarakat Indonesia. Meski masih tetap presiden, kekuatan Soekarno
semakin lama semakin berkurang sehingga Suharto secara formal dinyatakan
sebagai pejabat sementara presiden pada tahun 1967 dan dilantik menjadi
Presiden Indonesia kedua pada tahun 1968. Ini menandai munculnya era baru yang
disebut 'Orde Baru' dan berarti bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah diubah
dengan drastis. Pemerintah baru berfokus pada pembangunan ekonomi. Hubungan
dengan dunia Barat, yang telah dihancurkan Soekarno, dipulihkan sehingga memungkinkan
mengalirnya dana bantuan asing yang sangat dibutuhkan ke Indonesia. Manajemen
fiskal yang penuh kehati-hatian mulai dilaksanakan oleh para teknokrat ekonomi
dan konfrontasi yang berbahaya dan mahal melawan Malaysia dihentikan.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Suharto adalah depolitisasi
Indonesia. Menteri-menteri tidak diizinkan membuat kebijakan-kebijakan mereka
sendiri. Sebaliknya, mereka harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang
diformulasikan oleh atasannya (Presiden). Golkar (akronim dari Golongan Karya,
atau kelompok-kelompok fungsional) digunakan sebagai kendaraan parlementer yang
kuat milik Suharto. Golkar mencakup beberapa ratus kelompok fungsional yang
lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan pengusaha) yang memastikan
bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dimobilisasi oleh partai-partai
politik. Golkar dikembangkan menjadi sebuah alat untuk memastikan bahwa
mayoritas suara dalam pemilihan umum akan mendukung pemerintah. Golkar memiliki
jaringan sampai ke desa-desa dan didanai untuk mempromosikan Pemerintah Pusat.
Para pegawai negeri sipil diwajibkan mendukung Golkar sementara kepala-kepala
desa menerima kuota suara untuk Golkar yang harus dipenuhi. Kebijakan-kebijakan
ini menghasilkan kemenangan besar untuk Golkar pada pemilihan umum 1971. Untuk
semakin memperkuat kekuasaan politiknya, Suharto 'mendorong' sembilan partai
politik yang ada untuk bergabung sehingga tinggal dua partai. Partai pertama
adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari partai-partai Islam
dan partai kedua adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari
partai-partai nasionalis dan Kristen. Kendati begitu, aktivitas-aktivitas
politik kedua partai ini sangat dibatasi sehingga hanya menjadi masa-masa
kampanye singkat sebelum pemilihan umum.
1.3 Munculnya Supersemar
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. Orde Baru bertujuan
meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada
kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal
11 Maret 1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang
dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang berlangsung.Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan
bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal.Untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang
kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Johannes
Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor,
didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam II Chaerul Saleh.Leimena
sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir.
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki
Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf,
dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap
presiden.Segera setelah mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi
ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta
meyakinkan Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD,
dalam kondisi siap siaga.Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno
mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat
perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima
Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan,
ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik
Indonesia.Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira tinggi
ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, Brigadir
Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan
Pengawal Presiden Cakrabirawa. Surat perintah inilah yang
kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Sebagai
tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat
keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan
berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah
Indonesia.Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti
ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.Keputusan
pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat
sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.
Pada tanggal
18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut
dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang
dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966. Ia kemudian
memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga
legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari
orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.Keanggotaan Partai Komunis Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.Peran
dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas
presiden, bukan sebaliknya.Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota
yang diberhentikan. Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan
jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai
menteri.
Pada tanggal
20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil
sebagai berikut:
·
Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan
Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.
·
Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang
Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.
·
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang
Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
·
Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang
Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai
Organisasi Terlarang di Indonesia.
Hasil dari
Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai
berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai Komunis Indonesia dan pembersihan kabinet dari
unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.
Selain
dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai khususnya di wilayah
pedesaan-pedesaan di pulau Jawa. Pembantaian ini tidak hanya dilakukan oleh
angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.Selain
kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga
ditangkap dan dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia.Sebagian diasingkan ke Pulau Buru,
sebuah pulau kecil di wilayah Maluku. Pada tanggal 30 September setiap
tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Sistem Otoritarianisme
Orde Baru
Di dalam
system orde baru model negara Indonesia merupakan model negara kapitalis,model
ini mensyaratkan adanya negara yang kuat yang mampu menjamin stabilitas politik
dan keamanan yang berkelanjutan. Stabilitas politik yang kuat ini
diorientasikan untuk memberi rasa aman bagi investasi dan implementasi
kebijakan pembangunan yang diprakarsai oleh negara.Oleh karena itu,negara Orde
baru secara intensif memelihara stabilitas politik melalui dua srategi yaitu
strategi diskursif pembangunan institusional.Strategi diskursif yang telah
dilaksanalkan meiputi pemikiran mengenai diskontiniutas historis dan
konstituisionalisme yang berfungsi tidak hanya sebagai landasan ideologis dimana
pengembangan hagemoni kekuasaan dibangun,melainkan sebagai justifikasi untuk
menghalalkan “penindasan fisik,pelarangan,dan penggusuran orang-orangyang tidak
sepaham”.Pada level institusioal pemikiran mengenai negara yang kuat
diimplementasikan melalui rancangan koporatis terhadap organisasi-organisasi
sosial-politik dan kelompok-kelompok di masyrakat yang memiliki pengaruh besar
dalam penggalangan politik seperti organisasi buruh,kelompok industri,kelompok
keagamaan,serta organisasi kepemudaan.
Dalam masyarakat
politik Orde Baru seperti ini, mobilisasi massa yang melibatkan sebagian besar
rakyat hanya diijinkan oleh pemerintah dalam proses implementasi kebjakan
dibandingkan dengan pengambilan keputusan di tingkat nasional.Selama Orde
Baru,berbagai actor yang menjadi penyeimbang dan pengawas lembaga-lembaga
publik seperti kelompok-kelompok kepentingan,LSM,dan organisasi-organisasi
profesi yang tumbuh dalam masyarakat telah dikooptasi oleh rezim.Partai politik
telah ”dimandulkan” melalui kebijakan massa mengembang dan disederhanakan
menjadi tiga partai saja,kondisi ini diperparah dengan kebijakan asas tunggal
Pancasila sehingga partai-partai politik tidak dapat menggunakan ikatan
ideoogisnya untuk mengikat konstituennya.Akibatnya,birokrasi benar-benar menjadi
institusi yang dominan dalam system politik Indonesia.Hal ini mendorong
individu-individu di dalamnya berprilaku korup,nepotism,dan kolusif.Kuatnya
dominasi Negara dan birokrasi dalam mengontrol kehidupan masyarakat membuat
pembangunan politik pada Orde Baru tidak berjalan dengan baik.Kondisi ini
menimbulkan kekhawatiran tehadap masa depan Indonesia pasca-Soeharto.Begitu
kuatnya kekuasaan politik Soeharto yang di topang oleh birokrasi dan militer
membuat struktur politik tidak berfungsi sebagaimana seharusnya,ini telah
memandulkan fungsi-fungsi sruktur politik ”demokrasi “ hingga menjadi hanya
sebagai pelayan atas keinginan-keinginan Soeharto.
Kemandulan
struktur politik dalam melaksanakan fuyngsi-fungsi yang di embannya juga dapat
dilihat dari ketidakmampuan lembaga legislatif dalam melakukan checks and
balance terhadap lembaga eksekutif.Proses screening yang dilakukan pada masa
pemilihan umum guna memilih lembaga ini mandul secara politik.Pada tataran
tertentu mereka hanya menjadi “tukang stempel” atas kebijakan dan produk yang
diajukan oleh kalangan eksekutif.Ini juga yang terjadi pada lembaga tertiggi
Negara yaitu MPR.Selama enam kali pemilihan umum sejak tahun 1971 hingga tahun
1997 lembaga ini hanya mampu bertindak sebagai pengabsah Soeharto sebagai presiden.Kegagalan
partai-partai politik dalam melakukan pendidikan dan recruitment politik
sebagai akibat pemandulan yang sistematis telah membuat Soeharto menjadi tokoh
sentral yang tidak mempunyai pesaing dalam arena perebuta kursi
presiden.Tokoh-tokoh alternatif dihancurkan dalam arena persaingan
kekuasaan,bahkan ketika di kalangan masyarakat mulai muncul desakan yang kuat
untuk menolak Soeharto sebagai presiden untuk keenam kalinya,lembaga tertinggi
Negara masih tetap memilihnya sebagai presiden.
Sementara
itu pemberlakuan SIUPP yang dapat mengancam keberadaan pers sewaktu-waktu telah
membuat pilar demokrasi yang penting ini tidak mampu berbuat banyak selain
sebagai ‘pendukung’ kebijakan rezim yang setia.Akibatnya mereka lebih banyak meliput hal-hal yang berbau human
interest,kriminalitas,dan pornografi dibanding dengan bertindak sebagai
pengawas dalam sistem politik Indonesia.Dalam situasi ini nyaris komunikasi
politik yang seharusnya mengalir secara timbale balik antara masyarakat dengan
Negara tidak berjalan dengan baik.
2. STRUKTUR POLITIK
Presiden Soeharto memulai orde baru dalam dunia politik indonesia dan
secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh soekarno sampai akhir jabatannya. Orde baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijaksanaannya
melalui struktur administratifnya yang didominasi militer, DPR, dan MPR tidak
berfungsi efektif. Anggotanya juga seringkali dipilih dari kalangan militer
khususnya mereka yang dekat dengan cendana.dan hal ini mengakibatkan aspirasi
rakyat kurang di dengar pusat.
Jenderal Soeharto sebagai pemimpin utama orde baru yang menjabat ketua
presidium kabinet ampera, pada tanggal 19 April 1969 telah memberikan uraian
mengenai hakekat orde baru yaitu sebagai berikut “Orde baru adalah tatanan
seluruh perkehidupan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia yang
diletakkan kepada kemurnian pelaksanan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Dilihat dari proses lahirnya cita-cita mewujudkan orde baru itu
merupakan suatu reaksi dan koreksi prinsipil terhadap praktek-praktek
penyelewengan yang telah terjadi pada pada waktu-waktu yang lampau yang disebut
dengan orde lama. Orde baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas
penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa orde lama. Jadi oleh karena
itu pengertian orde baru yang terpenting ialah suatu orde yang mempunyai sikap
dan tekat mental dan iktikhad baik yang mendalam untuk mengabdi kepada rakyat,
mengabdi kepada kepentingan nasional yang dilandasi oleh falsafah Pancasila dan
yang menjunjung tinggi azas dan sendi undang-undang dasar 1945.
Landasan-landasan orde baru antara lain :
Landasan-landasan orde baru antara lain :
a)
Landasan idiil Falsafah dan
ideologi negara pancasila
b)
Landasan konstitusional
Undang-undang dasar 1945 dan adapun landasan situasional adalah
landasan-landasan yang dipakai sampai terbentuknya pemerintahan baru sesudah
pemilihan umum.
1) Pembubaran PKI dan Organisasi masanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan,
Soeharto sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:
·
Membubarkan PKI pada tanggal
12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
·
Menyatakan PKI sebagai
organisasi terlarang di Indonesia
·
Pada tanggal 8 Maret 1966
mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30
September 1965.
2) Penyederhanaan Partai Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi)
partai- partai politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan
partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi
lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial politik itu adalah:
·
Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan
dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
3) Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan
umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam
setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang
merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh
74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR dan PPP memperoleh 5,43 %
dengan perolehan 27 kursi. Sedangkan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara
dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal disebabkan adanya konflik intern di
tubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi
dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah
menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik
Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu
kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok
sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang
perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah
memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode,
karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap
pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah
selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.
4) Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Di masa Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di Indonesia.
Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik, menjadikannya
organisasi politik terbesar di negara. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal
dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI
karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara.
Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka
mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.
Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya
sebagai stabilitator dan dinamisator. Peran dinamisator sebenarnya telah
diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman
telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan
telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika
menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah G 30 S/PKI, yang melahirkankan
Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri. Banyak perwira,
khususnya mereka yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi
profesionalitas ABRI. Masuknya pendidikan sosial dan politik dalam akademi
militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi militer berkurang.
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara
lainnya. Saat itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala
itu masih menjadi bagian dari ABRI. Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen
dari total populasi, sangat kecil dibanding Singapura (2,06%), Thailand
(0,46%), dan Malaysia (0,68%).[16] Pendanaan
yang didapatkan ABRI pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB,
sementara angkatan bersenjata Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand
3,26%.Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang dimiliki juga sedikit; ABRI
hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.
5) Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto
mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan
Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau
Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Untuk mendukung
pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 secara murni dan konsekuen,
maka sejak tahun 1978 pemerintah
menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila,
sehingga dengan adanya pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan
terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada
dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Sehingga sejak tahun 1985 pemerintah
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi. Semua
bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila
sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem
budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi
tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan
dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila,
hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Pancasila
dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.
6)
Hubungan antarLembaga Negara
Hubungan antar lembaga politik merupakan hubungan yang akan menciptakan suatu
proses pemerintahan yang baik. Hubungan akan baik jika antar lembaga Negara
mengerti tugas dan peran masing-masing dalam pemerintahan.hubungan antar
lembaga Negara Indonesia adalah keseimbangan dalam lembaga eksekutif ,
legeslatif, yudikatif. Masa orde baru hubungan dan kedudukan antara
eksekutif dan legeslatif dalam sistem UUD 1945, sebetulnya telah diatur, kedua
lembaga tersebut sama akan kedudukannya. Pemerintahan pada masa orde baru,
kekuasaan eksekutif lebih dominan terhadap semua aspek kehidupan pemerintahan
dalam negara kita. Dominasi kekuasaan eksekutif mendapat legimilitasi
konstitusional, karena dalam penjelasan umum UUD 1945 bahwa presiden adalah
pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah majelis. Presiden juga
memiliki kekuasaan diplomatik. Kekuasaan pada masa orde baru pada presiden
begitu besar sehingga presiden Soeharto bisa menjabat presiden seumur hidup.
DPR sebagai lembaga pengawasan tidak berjalan secara efektif.
7)
Pembentukan kabinet
pembangunan
Kabinet ini awal l pada peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah kabinet
ampera dengan tugas yang terkenal dengan nama dwi darma kabinet ampera yaitu
untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk
melaksenakan pembangunan nasional. Kabinet pembangunan pada tahun 1968 dalam
sidang MPRS ada tugas lain pula yang disebut pancakrida.
8)
Kelebihan dan Kekurangan Orde
Baru
a)
Kelebihan
Ada
beberapa hal yang menjadi keuntungan dari masa orde baru sebagai berikut:
-
Perkembangan GDP per kapita
Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih
dari AS$1.000
-
Sukses transmigrasi
-
Sukses KB
-
Sukses memerangi buta huruf
-
Stabilitas politik dan ekonomi
-
Pertumbuhan ekonomi
-
Pemerataan pembangunan lebih terjaga
-
Ternyata sistem represif tanpa
demokrasi yang paling cocok sampai saat ini di Indonesia. Buktinya setelah ada
demokrasi sekarang malah kebablasan, anarki di mana-mana.
b) Kekurangan
Adapun
hal-hal yang menjadi kerugian dari masa orde baru adalah sebagai berikut :
-
Semaraknya korupsi, kolusi,
nepotisme
-
Pembangunan Indonesia yang tidak
merata
-
Bertambahnya kesenjangan sosial
(perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si (miskin)
-
Kritik dibungkam dan oposisi
diharamkan
-
Kebebasan pers sangat terbatas,
diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang diberedel (dihentikan dari edaran
dan penerbitan)
-
Ekonomi makro rapuh karena banyak
subsidi dari hutang luar negeri, untuk membuat
stabilitas politik
-
Tidak ada
demokrasi
9)
Repelita
Awal masa
orde baru menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun
1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru
berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan
dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai yang berpengaruh terhadap
bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun
1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang
beberapa REPELITA:
a)
REPELITA I (1969-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1 April
1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan
sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana
terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan
lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
b)
REPELITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah
sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sector pertanian yang
merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan
dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
c)
REPELITA III (1979-1984)
Prioritas tetap pada pembangunan
ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan,
serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
d)
REPELITA IV (1984-1989)
Adalah
peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki
kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan
merata, memperluas kesempatan kerja. Priorotasnya untuk melanjutkan usaha
memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri sendiri.
e)
REPELITA V (1989-1994)
Menekankan
bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.
Jika ditarik kesimpulan maka
pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sector pertanian
menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
Pada pertengahan 1997, Indonesia
diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai
kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas
ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, Inflasi meningkat tajam, dan
perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para
mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa
yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah
MPR melantiknya untuk masa Bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil
Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia. Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai
tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran
pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan
bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde
Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Orde baru merupakan masa
pemerintahan Seoharto mulai tahun 1966 sampai dengan 1998. Banyak kelebihan
dari masa pemerintahan Soeharto tetapi banyak juga kelemahanan atau
keburukannya. Bidang ekonomi juga memiliki perkembangan pada saat itu. Sejak
tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang
disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat
tentang beberapa REPELITA yaitu mulai dari Repelita I sampai dengan repelita V.
Kesejahteraan pada Orde Baru
boleh dikatakan memang terwujud, namun secara tidak kita sadari bahwa
kesejahteraan tersebut bersifat semu. Lebih lanjut Pratikno (1998) mengatakan
sumber utama kedua yang dipergunakan untuk membangun otoritarianisme,
klientelisme ekonomi yang berhasil dilakukan berkat melimpahnya sumber daya
ekonomi dan hasil alam. Dengan sumber daya inilah Suharto secara efektif mampu
membeli dukungan dari elit politik dan masyarakat luas. Faktanya ketika Orde
Baru runtuh maka indikator kesejahteraan juga turut menghilang perlahan dengan
sendirinya, hanya untuk pencitraan saja. Memang sifat manusia jika sudah
memperoleh kesempatan yang menggiurkan di depan mata, akan mengambil dengan
suka cita. Apalagi pada saat Orde Baru mereka bisa leluasa bergerak tanpa
pertimbangan matang, utung ruginya menarik modal asing tidak dipikirkan
sebelumnya. Mereka hanya berorientasi pada keuntungan semata, tanpa
memperdulikan peningkatan produktifitas ekonomi Indonesia untuk keberlangsungan
hidup penerus bangsa selanjutnya. Mereka belum bisa berfikir untuk peduli pada
generasi mendatang, boro-boro masalah generasi, rakyatnya yang pada saat itu
menjerit hanya karena tidak bisa membeli kebutuhan pokok saja tidak diindahkan.
Inilah asal mula mengapa hutang Indonesia saat itu menggelembung menjadi besar
karena ulah konyol orang-orang tua Orde Baru yang pikirannya kotor. Sebagian
besar utang tersebut adalah sektor swasta kepada pemodal asing. Imbas dari
hutang yang sangat tinggi waktu itu Orde Baru kekosongan kas negara, tidak mapu
membayar hutang-hutang tersebut padahal jatuh temponya dekat dengan bunga yang
luar biasa tinggi. Pertengahan tahun 1998 sudah lebih dari 50 miliar dolar
jatuh tempo, sedangkan uang memang kosong untuk melunasinya. Akhirnya menumpuk
lagi hutang negara kita, semakin banyak dan semakin banyak. Bahkan uang yang
digunakan pengusaha kurang lebih 74 miliar hampir seluruhnya tidak ada
manfaatnya bagi masyarakat Indonesia. Inilah awal timbulnya krisis moneter yang
dialami Indonesia.
3.2 Saran
Orde Baru boleh kita kenang namun pola kepemimpinannya tidak perlu kita
contoh, karena sangat sentralistik bahkan sentral ditangan satu orang saja yaitu Soeharto. Sampai-sampai kesejahteraan hanya bersifat semu tidak ikhlas
diberikan pada rakyat. Kita memasuki globalisasi, masalah kesejahteraan tidak
hanya terkait dengan hal-hal seperti mampu makan namun juga mampu berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman. Memang banyak keuntungan atau sisi
baik dari masa pemerintahan soeharto, tetapi sisi buruk juga tidak boleh kita
lupakan. Dengan penjelasan yang saya
tulis dalam makalah ini tentang system politik pada era orde baru, hendaklah
kita lebih jeli lagi melihat system pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah
kita terhadap rakyat, bukan hanya melihat keuntungannya saja tetapi juga
melihat dampak buruknya dan secepatnya mengantisipasi keburukan tersebut. Hendaklah
kita meneruskan sisi baik dari masa pemerintahan Soeharto dan memperbaiki sisi
buruknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar