Senin, 06 Februari 2017

POLITK UANG DAN PEMILIHAN UMUM

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum secara umum, banyak terjadinya perbuatan politik uang (Money Politics) yang ikut mewarnai acara pesta dan peta demokrasi yang berlangsung di negara ini. Money Politics banyak membawa pengaruh akan peta perpolitikan Nasional serta juga dalam proses yang terjadi dalam pesta politik. Dalam norma standar demokrasi, dukungan politik yang diberikan oleh satu aktor terhadap aktor politik lainnya didasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik. Dan juga setiap warga negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (satu orang, satu suara, satu nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan politik diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya ekonomi lainnya yang diterima oleh aktor politik tertentu.

1.2  Rumusan Masalah
1)      Pengertian money politik?
2)      Apa dampak yang dapat diberikan oleh praktek money politic?
3)      Bagaimana cara memutus mata rantai money politic?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Money Politik
Money politic dalam Bahasa Indonesia adalah suap, arti suap dalam buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok. Suap dalam bahasa arab adalah rishwah atau rushwah,yang yang berasal dari kata al-risywah yang artinya sebuah tali yang menyambungkan sesuatu ke air.
Menurut pakar hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Indra Ismawan kalau kasus money politic bisa di buktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan. Tapi kalau penyambung adalah figur anonim (merahasiakan diri) sehingga kasusnya sulit dilacak, tindak lanjut secara hukum pun jadi kabur.
Secara umum money politic biasa diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan.
Seperti yang telah dikutip diatas dan  menurut pendapat para ahli bahwa Money Politic adalah salah satu tindakan penyuapan berupa uang atau barang yang ditukar dengan posisi atau jabatan yang bertujuan untuk memperoleh suara dari para pemilih yaitu masyarakat yang mengikuti Pemilu , agar dapat terpilih dan menduduki posisi jabatan yang diinginkan. Money politic dapat dilakukan oleh Individu atau kelompok baik partai atau independent dengan memiliki berbagai maksud dan tujuan, dilakukan dengan sadar dan terencana dengan baik.

2.2 Alasan Melakukan Politik Uang
Para elite politik yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu agar perolehan suaranya banyak dan dapat menempati posisi suatu jabatan yang diinginkan akan  melakukan berbagai hal, dan berbagai cara tanpa memperhatikan baik buruknya suatu dampak yang akan dirasakan, alas an mereka melakukan hal seperti itu terkadang hanya tuntutan, karena telah masuk dalam sebuah partai politik tertentu, sehingga mau tidak mau para individu atau kelompok ini melakukan hal seperti itu, tujuannya banyak mungkin salah satunya adalah nama baik dan elektabilitas partainya sendiri.
Masyarakat yang menjadi objeknya akan diberikan uang atau barang sebagai sogokan agar masyarakat tersebut diharapkan dapat memilih (vote) dalam pemilu, oleh karena itu praktek money politic masih menjadi kegemaaran bagi para tokoh politik di negri ini, sebagai salah satu cara yang cukup efektif dalam mendapatkan banyak suara dalam pemilu,
Masyarakat yang sering tergoda hanya dengan uang yang rata-rata diberikan sekitar Rp50.000- Rp100.000,- bahkan lebih, karena rata-rata para calon kandidat tersebut ingin menarik simpati masyarakat agar masyarakat tersebut menjadi simpatisannya dalam kampanye. Dalam musim kampanye banyak sekali masyarakat yang menjadi simpatisan bayaran, bak Jamur di musim hujan, rata-rata masyarakat menjadikannya sebagai mata pencaharian dadakan pada saat musim kampanye, mereka hanya menerima uang atau barang sebagai balas jasa yang diberikan karena telah menjadi pendukung partai politiknya tersebut, padahal pada kenyataannya masyarakat kini menjadi lebih pintar, karena beberapa kali Pemilu diselenggarakan ketika seseorang calon pejabat berkampanye dengan janji-janji manisnya dan setelah itu terpilih, ternyata mereka semua tidak bisa membuktikan perkataan mereka tersebut, oleh karena itu masyarakat kini lebih cerdik dengan hanya menerima sogokan lalu mereka berpura-pura seolah mereka mendukungnya, namun faktanya masyarakat tersebut tetap memilih calonnya sesuai dengan hati nurani mereka masing-masing.

2.3 Dampak Yang ditimbulkan Akibat Poltik Uang
1.     Korupsi, ini merupakan dampak terbesar dari adanya praktek politik uang, karena ini merupakan salah satu cara para pejabat yang terpilih untuk mengembalikan biaya-biaya pada saat pemilu adalah dengan cara korupsi.Atau bisa kita katakan korupsi dilakukan untuk mengembalikan modal yang telah di investasikan ketika melakukan kampanye.

2.     Merusak tatanan  Demokrasi
Dalam konsep demokrasi kita kenal istilah dari rakyat, oleh rakyat,dan ntuk rakyat.Ini berarti rakyat berhak menentukan pilihannya kepada calon yang di khendakinya tanpa ada intervensi dari pihak lain.
Namun dengan adanya praktek pplitik uang maka semua itu solah dalam teori belaka.Karena masyarakat terikat oleh sebuah parpol yang memeberinya uang dan semisalnya. Karena sudah diberi uang masyarakat merasa berhutang budi kepada parpol yang memberinya uang tersebut, dan satu-satunya cara untuk membalas jasa tersebut adalah dengan memilih/mencoblos parpol tersebut.Sehingga motto pemilu yang bebas, jujur, dan adil hanya sebuah kata-kata yang terpampang di tepi-tepi jalan tanpa pernah di realisasikan.
3.     Akan makin tingginya biaya politik
Dengan adanya praktek politik uang , maka sebuah parpol di tuntuk untuk lebih memeras kantong, mengingat sudah terbiasanya masyarakat dengan pemberian uang dan barang lainnya atau bias kita katakan parpol yang lebih banyak mengeluarkan biaya akan keluar menjadi pemenang. Oleh karena itu parpol-parpol tersebut akan berusaha memberikan uang dan semisalnya kapada masyarakat melebihi parpol pesaingnya, agar masyarakat memilihnya.

2.4 Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Memberantas Politik Uang
1.     Menanamkan niali-nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sejak dini. Denga semakin kuatnya keimanan kita bahwa Tuhan akan membalas setiap amal perbuatan yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan yang berbuat jahat akan dibalas dengan azab atau siksa, maka akan semakin besar pula rasa takut kita untuk berbuat tidak baik seperti menyuap, tidak jujur, dan sebagainya.

2.     Hukuman yang tegas bagi oknum-oknum yang menyuap dan koruptor.
Tidak di pungkiri lagi bahwa hokum di Indonesia ini sangat lemah bagi mereka yang berkedudukan dan sangat tegas bagi masyarakat lemah, berapa banyak sudah koruptor yang hukumannya lebih ringan daripada pencuri ayam. Oleh karena itu jika kita hendak memberantas korupsi di negeri ini maka cara yang sangat efektif di antaranya adalah dengan memebrikan hukuman yang berat dan tegas tanpa pandang bulu kepada para koruptor .agar merek yang sudah melakuakan korupsi bias jera dan bagi mereka yang belum tidak berani melakukan korupsi.

3.     Transparansi
Ini merupakan salah satu penopang terwujudnya pemerintahan yang bersih, menurut para ahli akibat dari tidak adanya transparansi Indonesia telah terjamab kedalam kubangan korupsi yang berkepanjangan. Maka untuk keluar dari kubangan korupsi transparansi mutlak harus dilakukan baik pemerintah pusat maupun di bawahnya.

4.     Dukungan dari semua pihak
Karena praktek politik uang dan korupsi merupakan masalah yang sangat besar,kara-akarnya telah menjalar keseluruh lapisan masyarakat, maka untuk memberantasnya diprlukan kerjasama,usaha,dan dukungan dari semua pihak baik pemerintah, penegak hokum, dan masyarakat. Jika salah satu dari komponen tersebut tidak mendukung, maka pemerintahan yang bersih dari politik uang dan korupsi akan sulit terwujud.

2.5 Money Poltik dalam Pemilu
Praktek dari Money Politics dalam pemilu sangat beragam. Diantara bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap politik uang antara lain: a) distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu, b) pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai politik tertentu, dengan konsesi-konsesi yang ilegal, c) penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang simpati bagi partai poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan dana JPS atau penyalahgunaan kredit murah KUT dan lain-lain.
Dari sisi waktunya, praktik Money Politics di negara ini dapat dikelompokkan menjadi dua tahapan yakni pra pemungutan. Pada pra pemungutan suara mulai dari seleksi administrasi, masa kampanye, masa tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah para pemilih, terutama mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi. Untuk tahap kedua adalah setelah pemungutan, yakni menjelang Sidang Umum DPR atau pada masa sidang tersebut. Sasarannya adalah kalangan elit politik. Di tangan mereka kedaulatan rakyat berada. Mereka memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis.
Kalau kita mau menganalisa dari kedua tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik uang dengan sasaran the voters, pemilih atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur keberhasilannya. Karena disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih. Apakah rakyat yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol yang telah memberikan uang atau mereka ’berkhiatan’. Karena dalam masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi, tapi juga pesta bagi-bagi uang.
Adapun keberhasilan praktik Money Politics pada tahapan yang kedua lebih dapat diprediksi ketimbang pada tahap yang pertama. Sebab sasaran yang kedua adalah elit politik yang akan mengambil keputusan penting bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau pemilihan dilakukan dengan voting tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit, terutama jika pelaku Money Politics tersebut dinyatakan kalah dalam pemilihan. Dengan demikian para ’pengkhianat’ sulit dilacak.
Demikian eratnya hubungan uang dengan politik, sehingga jika Money Politics tetap merajalela niscaya parpol yang potensial melakukan praktik tersebut hanya partai yang memiliki dana besar. Berapapun besarnya jumlah dana yang dikeluarkan, keuntungan yang diperoleh tetap akan jauh lebih besar. Sebab pihak yang diuntungkan dalam praktik Money Politics adalah pihak pemberi, karena dia akan memperoleh dukungan dan kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. Adapun yang dirugikan adalah rakyat. Karena ketika parpol tersebut berkesempatan untuk memerintah, maka ia akan mengambil suatu kebijakan yang lebih menguntungkan pihak penyumbangnya, kelompoknya daripada interest public.
Bagaimanapun juga Money Politics merupakan masalah yang membahayakan moralitas bangsa, walaupun secara ekonomis—dalam jangka pendek—dapat sedikit memberikan bantuan kepada rakyat kecil yang turut mencicipi. Namun apakah tujuan jangka pendek yang bersifat ekonomis harus mengorbankan tujuan jangka panjang yang berupa upaya demokratisasi dan pembentukan moralitas bangsa?
Demoralisasi yang diakibatkan oleh Money Politics akan sangat berbahaya baik dipandang dari sisi deontologis (maksud) maupun teologis (konsekwensi). Karena sifatnya yang destruktif, yakni bermaksud mempengaruhi pilihan politik seseorang dengan imbalan tertentu, atau mempengaruhi visi dan misi suatu partai sehingga pilihan politik kebijakannya tidak lagi dapat dipertanggungjawabkan untuk kepentingan rakyat.

2.6Money Politicsmempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum
Dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum secara umum, banyak terjadinya perbuatan politik uang (Money Politics) yang ikut mewarnai acara pesta dan peta demokrasi yang berlangsung di negara ini. Money Politics banyak membawa pengaruh akan peta perpolitikan Nasional serta juga dalam proses yang terjadi dalam pesta politik. Dalam norma standar demokrasi, dukungan politik yang diberikan oleh satu aktor terhadap aktor politik lainnya didasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik. Dan juga setiap warga negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (satu orang, satu suara, satu nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan politik diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya ekonomi lainnya yang diterima oleh aktor politik tertentu.
Dalam politik uang (Money Politics) pemilihan kepala daerah baik untuk mengisi jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terdapat beberapa hal yang mungkin tidak di ketahui oleh umum. Praktek politik ini sangat tertutup yang hanya di ketahui oleh para calon atau orang-orang yang berada pada “Ring Dalam” para calon saja. Besarnya uang yang diperlukan untuk membeli suara juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Besarnya harga suara sangat tergantung pada pola hidup dan tingkat ekonomi masyarakat daerah tersebut. Bagi daerah yang relatif kurang maju mungkin harga satu suara berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 100 juta saja. Namun, untuk daerah yang sudah maju dan memiliki pendapatan perkapita tinggi di duga satu suara sangat variatif berkiasar antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta.
Persoalannya seorang calon harus tahu benar kapan dana yang dibutuhkan harus dikeluarkan. Dalam permainan politik uang (Money Politics), seorang calon kepala daerah berserta tim suksesnya (TIMSES) harus menguasai benar kondisi di lapangan. Pertimbangan hati-hati ini dilakuakan oleh para calon agar uang yang tersedia diberikan kepada orang yang tepat sasarannya. Kalau penggunaan uang tidak hati-hati bukan hanya salah sasaran berakibat uang hilang percuma saja, tetapi sangat beresiko apabila informasi jatuh kepada mereka yang tidak dapat dipercaya, dalam pemberian uang kepada pemilih dalam membeli suara calon pemilih. Apabila uang jatuh kepada kelompok yang tidak dapat dipecaya, maka boleh jadi akan menjadi bumerang apabila kelak terpilih dengan suara terbanyak akan mendapat perlawanan dari kelompok yang kalah. Terutama banyaknya pengungkitan dari pihak lawan akan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak kandidat yang menang dalam pemilihan kepala daerah. Pada semua tingkatan yang ada. Biasanya kelompok yang kalah akan berusaha mendapatkan bukti-bukti tentang adanya bukti praktek uang (Money Politics) tersebut guna mereka untuk mencari keuntungan bagi pihak-pihak kandidat yang kalah dalam acara pesta demokrasi tersebut.
Maka dapat dijadikan bahan untuk membatalkan pelantikan kepala daerah terpilih, bukankah peraturan pemerintah Nomor 151 tentang tata cara pemilihan kepala daerah terpilih harus menghadapi masa uji publik selama 3 hari. Dalam masa uji public ini senjata paling ampuh untuk menjatuhkan kandidat yang menang adalah apabila terdapat bukti adanya praktek politik uang (Money Politics). Bukankah politik uang (Money Politics) dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana suap.
Di samping mempelajari secara hati-hati dan seksama, calon kepala daerah tidak pula sembarangan mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas guna dalam memperoleh suara dalam pemilihan nanti. Dalam praktek politik uang (Money Politics) dikenal beberapa tahapan dana yang dibutuhkan, dimulai dari proses uang perkenalan, uang pangkal, uang untuk fraksi hingga uang yang ditujukan untuk membeli suara orang per orang pemilih. Pada proses pemilihan, masing-masin bakal calon melakukan pendekatan kepada para anggota dewan, guna mencari dukungan bagi mereka untuk mencalon diri dalam ajang pemilihan kepala daerah (PILKADA). Bagi mereka yang terlibat dalam praktek politik uang (Money Politics) mereka juga menyediakan dana khusus dalam masa perkenalan ini. Bagi bakal calon yang “paham betul” dengan situasi lapangan dan disertai dana yang mencakupi bagi masa perkenalan telah menyediakan dana pada masa perkenalan ini. Ada lagi istilah uang pangkal. Bagi sebagian kandidat memberikan uang dalam jumlah besar untuk suatu pertarungan yang belum pasti mereka menangkan merupakan suatu hal yang wajar memang merupakan suatu hal yang terlalu besar resikonya. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko tersebut, maka apabila terjadi kesepakatan untuk memberikan dana dalam jumlah tertentu, tidak semua dana yang disepakati dibayarkan. Strateginya dengan memberikan uang pangkal disertai janji apabila kelak terpilih akan melunasi sisa uang yang dijanjikan.
Memang pola menggunakan uang pangkal ini juga riskan apabila ditinjau dari sisi kepastian bahwa suara akan dijaminkan diberikan kepada “si pemberi uang pangkal”. **Dalam salah satu kasus yang saya ketahui dilapangan, uang pangkal diberikan sejumlah Rp 10 juta disertai dengan janji akan diberikan sekitar Rp 100 juta lagi apabila kelak terpilih. Oleh anggota DPRD bersangkutan ternyata uang pangkal ini dianggap tidak pernah ada ketika kandidat lain memberikan dana secara kontan tiga kali lebih besar daripada dana yang dijanjikan oleh “si pemberi uang pangkal pertama” berjumlah Rp 10 juta terdahulu. Akibatnya, uang pangkal yang diberikan oleh salah seorang calon kepala daerah ini hilang percuma karena dana yang lebih besar bukan hanya dijanjikan tetapi dibayar lunas dalam bentuk uang tunai, oleh calon kepala daerah yang lain.[5] Dalam pemilhan tersebut, maka hal tersebut adalah sebuah hal yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Yaitu adanya sebuah asas yang disebut JURDIL (Jujur dan Adil). Dalam masalah ini ada beberapa perdebatan mengenai asas ini pada awal akan dimasukkan asas ini dalam asas Pemilu pada awal Pemilu di Indonesia, antara lain:
  1. Perlunya atau tidak asas jurdil ini dimasukan dalam perundang-undangan sebagai asas resmi disamping asas LUBER.
  2. Dalam pelaksanaan Pemilu perlu ditampakan bahwa asas jurdil ini merupakan sesuatu yang benar-benar diterapkan.
Melihat pengertian asas Jurdil ini disatu pihak dan asas Luber pihak lain, keduanya memiliki pengertian yang berbeda, namun sangat erat kaitannya. Dalam pembahasan ini maka sewajarnyalah sebuah Pemilu harus menggunakan asas JURDIL dan LUBER, guna terciptanya sebuah demokrasi serta pesta demokrasi yang sehat dan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan juga sesuai dengan amanat rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.
Dalam pilkada yang ada maupun pemilu secara umum maka asas ini (JURDIL serta LUBER) hanyalah sebuah slogan belaka, karena pada dasarnya Money Politics merupakan sebuah sistem yang tidak akan pernah hilang dalam proses demokrasi Indonesia dan hal ini akan terus menerus terjadi dan dilakukan oleh para calon dan Jurkam serta Timses masing-masing calon dalam pilkada dan pemilu guna mencari perhatian serta suara dari para calon pemilih untuk memenangkan mereka dalam PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) dan PEMILU (Pemilihan Umum). Walaupun adanya partai politik yang berasaskan Islam akan tetapi praktek Money Politics ini tetap ada walau dikemas dalam agenda yang sangat rapi. Akan tetapi juga ada juga partai politik yang memang benar-benar mereka tidak melakukan politik uang (Money Politics). Serta merebaknya Money Politics membawa implikasi yang sangat berbahaya bagi demokrasi dan penguatan negara bangsa. Melalui Money Politics kedaulatan bukan ada pada tangan rakyat akan tetapi kedaulatan berada ditangan “uang”.
Oleh karena itu, pemegang kedaulatan adalah “pemilik uang”, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan bukan lagi rakyat mayoritas. Di tengah gelombang demokratisasi yang gencar belakangan ini, maraknya Money Politics bisa mempermudah masuknya penetrasi politik melalui uang. Maka dengan demikian, Pilkada dengan sistem Money Politics akan terus terjadi kejadian yang paling umum dalam praktek politik uang (Money Politics) adalah pembelian suara menjelang hari pemilihan. Artinya, masing-masing calon mengadakan pendekatan kepada para anggota DPRD.
Pendekatan dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui perantara orang ketiga. Pada saat inilah transaksi dilakukan baik dengan memberikan uang kontan ataupun dengan suatu janji atau pemberian atas pemberian. Ada hal yang menarik bahwa umumnya para anggota DPRD lebih menginginkan uang kontan dari pada cheque. Akibatnya, jangan heran kalau uang kontan berdampak lebih ampuh dibandingkan dengan penggunaan selembar cheque. Karena itu harga suara itu sangat mahal apabila seorang bakal calon kepala daerah berasal dari anggota TNI/ POLRI artinya, anggota fraksi ini mempunyai posisi tawar yang tinggi. Mereka dapat mengajukan argument bahwa”terikat rantai komando” dan terikat pemerintah komandan dan seterunya. Padahal, tidak ada lagi perintah komando untuk memilih atau tidak memilih salah satu bakal calon. Akibatnya, calon pembeli suara dihadapkan pada situasi sulit. Dalam kondisi inilah dibutuhkan dana yang cukup besar. Biasanya strategi yang dilakukan dengan mendapatkan informasi berupa dana yang dikeluarkan oleh pihak lawan bagi suara mahal ini. Setelah mengetahui harga suara maka kemudian diberikan dana jauh lebih besar lagi.
Dalam sistem politik yang lain ada yang namanya “Serangan Fajar” bagi para bakal calon kepala daerah beserta tim suksesnya pada calon pemilih, adapun masa yang paling rawan adalah H-2 dan H-1 pemilihan. Dalam masa inilah masing-masing calon saling melakukan pengintaian guna semaksimal mungkin dan seakurat mungkin mendapatkan informasi tentang berapa besar dan yang beredar bagi satu suara anggota DPRD. Informasi ini menjadi sangat penting karena pada H-1 merupakan kesempatan terakhir dalam perebutkan suara tersebut. Namun, dalam praktek juga terjadi Serangan Fajar yang dimaksud sebenarnya adalah dengan Serangan Fajar ialah pada hari Fajar hari H (Hari Pemilihan), kandidat kepala daerah atau tim suksesnya memanfaatkan informasi paling mutakhir tentang berapa harga satu suara dari para calon pemilih yang akan melakukan pencoblosan pada pagi harinya dan anggota DPRD mana saja yang kemungkinan masih dapat digarap untuk dimintai suaranya dalam pemungutan suara dan masa uji publik serta masa pelantikan kepala daerah. Ada beberapa kategori yang dapat di ketahui yaitu sebagai berikut : Pertama, Anggota Dewan (DPRD) yang selama ini dikenal dengan kondisi siap menyeberang asal sesuai harga. Kedua, Anggota Dewan (DPRD) yang masih dihadapkan pada keraguan antara misi partai dengan iming-iming uang yang berjumlah besar.
Namun hal yang inti dari Money Politics adalah bagaimana strategi pemberian uang ini. Bukankah tindakan menyuap dan disuap merupakan perbuatan melanggar hukum, oleh karena itu proses “penyampaian uang” harus dilakukan secara rapi dan sistematis. Namun, yang pasti bagi mereka yang terlibat dalam menggunakan uang kontan, tidak melalui transfer bank walaupun melibatkan dana dalam jumlah besar. Yaitu dengan cara mendatangi secara langsung rumah Anggota Dewan (DPRD) untuk memberikan uang tersebut. Hal ini dilakukan untuk semaksimal mungkin menghilangkan jejak. Apabila mengirim sejumlah dana melalui jasa perbankan tentu terdapat bukti setoran yang akan didapatkan di samping memang transaksi perbankan mudah dilakukan pelacakan. Dan hal ini akan memberikan peluang bagi calon kandidat yang kalah guna membongkar praktek politik uang (Money Politics) yang dilakukan oleh calon kandidat serta timsesnya dalam memenangkan pemilu atau pemilhan kepala daerah (PILKADA). Dan juga hal ini akan memberikan sebuah kesan negative bahwa calon tersebut melakukan praktek politik uang (Money Politics) guna memenangkan pemilihan tersebut. Selain itu ternyata pemberian uang tidak pula selalu dilakukan oleh para kandidat secara langsung. Akan tetapi pemberian uang tersebut dapat dilakukan melalui perantara orang lain termasuk teman akrab, keluarga, hubungan bisnis, dan seterusnya. Ada beberapa macam-macam bentuk pemberian uang dari kandidat kepada anggota dewan yang terlibat dengan politik uang (Money Politics). Macam-macam itu adalah sebagai berikut:
  1. Sistem ijon.
  2. Melalui tim sukses calon.
  3. Melalui orang terdekat.
  4. Pemberian langsung oleh kandidat.
  5. Dalam bentuk cheque.
Akan tetapi tidak banyak juga Money Politics ini yang tidak berhasil pada akhirnya dalam masalah pembelian suara pemilih maupun dari anggota dewan (DPRD). Ada bebarapa faktor yang membuat hal ini terjadi, yaitu:
  1. Adanya hubungan keluarga dan persahabatan.
  2. Bakal calon bersikap ragu-ragu.
  3. Adanya anggota yang terlanjur mempunyai komitmen tersendiri.
  4. Adanya anggota yang dianggap opportunis.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas mengenai partisipasi politik yang ada didalam masyarakat dalam pemilu umum maupun pemilu daerah (PILKADA) maka dapat dilihat bahwa partisipasi politik masyarakat sangatlah penting guna keberlangsungan demokrasi di Negara ini. Serta juga memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat umum bagaimana partisipasi tersebut jangan salah digunakan dalam pemilihan umum.
Dalam hal ini yaitu dengan adanya sistem yang bernama politik uang (Money Politics) yang memberikan gambaran buruk bagi kesejahteraan demokrasi di Indonesia ini. Ada sebuah slogan yang bagus dalam menyikapi akan pelanggaran dari PILKADA maupun PEMILU secara umum yaitu DEMOKRASI bukanlah “DEMOCRAZY”.
3.2 Saran
Dan juga bagi masyarakat umum sepatutnyalah untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua iming-iming dan janji-janji yang diberikan oleh para calon kandidat Pilkada dalam kampanye-nya. Dan juga lebih selektif dalam memilih apa yang sesuai dengan hati nurani kalian. Serta juga ingat pada para calon kandidat yang akan bertarung dalam ajang pesta demokrasi yang ada di negeri tercinta ini, yaitu ingatlah asas JURDIL dan LUBER dalam melaksanakan acara demokrasi ini, dan juga para calon pemilih juga agar ingat akan slogan tersebut. Janganlah sekali-kali kalian khianati hati kalian demi sesuatu yang belum tentu kalian dapatkan. Serta juga slogan tersebut walau sudah tua umurnya akan tetapi, manfaat dan maknanya sangatlah dalam menentukan masa depan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar